OPINI, dutaperistiwa.com – Belakangan ini di wilayah Kabupaten Blora maupun Bojonegoro marak sekali beredar “surat cinta” dari masyarakat, kelompok masyarakat atau lembaga yang meminta beberapa dokumen dan informasi terkait penggunaan anggaran maupun laporan pertanggungjawaban keuangan serta kegiatan di desa-desa. Hal ini tentu saja membuat beberapa kepala desa pusing tujuh keliling alias bagaikan makan buah simalakama. Karena sebagaimana diketahui, jika dokumen dan informasi yang diminta oleh pemohon informasi tersebut dipenuhi, itu sama halnya mereka membuka dapur perusahaan/kawasan pribadi pemerintahan desa setempat. Namun jika tidak dipenuhi dokumen dan informasi yang diminta oleh masyarakat tentunya akan berujung ke sidang ajudikasi di Komisi Informasi Provinsi, dan tidak menutup kemungkinan akan berlanjut hingga PTUN dan proses hukum lebih lanjut, sebagaimana tertulis dalam pasal 52 UU KIP Nomor 14 Tahun 2008 dinyatakan “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.
Sejak UU KIP Nomor 14 Tahun 2008 diundangkan, dan diikuti dengan beberapa peraturan lainnya, baik Perki (Peraturan Komisi Informasi) maupun Permendagri, Peraturan Pemerintah, Perda dan Perbup, penulis melihat sudah ada puluhan kepala desa di wilayah Kabupaten Blora maupun Bojonegoro yang disidangkan di gedung KIP Jateng yang beralamat di Jalan GOR Tri Lomba Juang di Semarang ataupun di gedung KIP Jatim yang berada di Jalan Bandilan di Waru, Sidoarjo Jawa Timur.
Penulis mengamati rata-rata dokumen dan informasi yang diminta oleh sebagian masyarakat tersebut berkutat di persoalan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tentang Dana Desa (DD) maupun Anggaran Dana Desa (ADD).
Dengan adanya kejadian ini, tentunya ini bisa menjadi motivasi bagi kepala desa maupun pemerintahan desa ataupun badan publik lainnya agar lebih hati hati dalam mengelola keuangan desa dan tidak menjadikan surat cinta tersebut sebagai momok yang menakutkan bagi pemerintahan desa.
Sepanjang dalam pengelolaan keuangan desa tersebut kepala desa maupun pemerintah desa sudah berjalan sesuai dengan regulasi yang ada, tentunya “surat cinta” tersebut bisa ditanggapi biasa saja, karena regulasi sudah mengatur bahwa ada informasi yang harus diberikan kepada pemohon apabila ada permohonan informasi, yang tentunya dengan melengkapi persyaratan yang diatur oleh undang-undang dalam mengajukan permohonan informasi. Selain itu dalam Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 tahun 2017 tentang Informasi Yang Dikecualikan, yang sudah disempurnakan dan dijadikan satu dengan Perki Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik menjadi Perki Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik sudah diatur tentang beberapa informasi yang tidak wajib diberikan kepada pemohon karena beberapa alasan tertentu dan itu menjadi informasi yang dikecualikan.
Dalam hal ini penulis mengamati, para kepala desa tersebut menjadikan “surat cinta” itu sebagai momok yang menakutkan dimungkinkan karena ada 2 hal yang melatarbelakangi.
Yang pertama mereka dalam bekerja mengelola keuangan desa kurang sesuai dengan regulasi yang ada, sedangkan yang kedua karena kekurangpahaman kepala desa terhadap regulasi tentang Keterbukaan Informasi Publik ini.
Semoga dengan adanya tulisan ini bisa lebih menambah wawasan serta mengedukasi bagi siapa saja pejabat publik agar tidak sedramatis itu dalam menyikapi adanya “surat cinta” dari sekelompok masyarakat, dan yang perlu diluruskan adalah bukan bagaimana cara menanggapi “surat cinta” tapi lebih pada bagaimana kita dalam mengelola pemerintah desa dengan baik dan transparan sehingga setiap permohonan informasi yang masuk bisa kita tanggapi biasa saja tanpa ada rasa cemas dan takut.
Melalui tulisan ini, penulis boleh sampaikan sebuah quote “Terbuka Itu Harus, Tapi Jangan Telanjang” dan sebuah quote lainnya “Kalau Bersih, Kenapa Risih?“.
Gunaidik
Penulis adalah pemimpin redaksi media online “Duta Peristiwa”, mantan Sekretaris MPC Pemuda Pancasila Kabupaten Bojonegoro dan mantan Sekretaris PAC GP Ansor Kecamatan Cepu serta sudah berkali-kali melakukan sidang ajudikasi baik di KIP Jateng maupun KIP Jatim.