Kupatan, Tradisi Syawalan di Kota Wali yang Masih Tetap Bertahan

TUBAN, dutaperistiwa.com – Satu pekan setelah Hari Raya Idul Fitri atau sekitar tanggal 8 Syawal,  sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia merayakan Lebaran Ketupat atau ada juga yang menyebutnya syawalan.

Hari Raya Ketupat atau lebih dikenal dengan kupatan ini telah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim Indonesia, termasuk di Kabupaten Tuban. Bahkan, sejak lima hari setelah Lebaran, hampir seluruh pasar tradisional nampak menjual blarak atau anyaman daun kelapa, yang menjadi bahan dasar wadah ketupat. Tak jarang, para pedagang menjualnya dalam bentuk jadi, sehingga pembeli tinggal mengisi berasnya.

Tradisi turun temurun ini selalu dilakukan sebagian besar masyarakat di Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan. Salah satunya yang dialami oleh keluarga Siti Maslamah. Perempuan paruh baya asal Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding ini sibuk menyiapkan ketupat sejak dini hari. Tak lupa dengan opor ayam dan srondeng, juga dengan pelengkapnya, yaitu lepet dan alu-alu.

Biasanya, ia akan membagikannya ke tetangga. Sebagian akan dikirim ke musholla terdekat yang akan menyelenggarakan tahlilan. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh para tetangga. “Habis tahlilan biasanya kita makan bersama di masjid atau juga dibawa pulang,” ujarnya kepada awak media, Sabtu (29/04/2023).

Segendang seirama juga dilakukan Supinah (50), asal Desa Talang Kembar, Kecamatan Montong, Tuban. Ia telah melakukan tradisi dari nenek moyang ini secara turun temurun. Dia akan membuat bungkus ketupat di malam hari dan akan mengisinya beras dan kemudian direbus.

Keesokan harinya, bersamaan dengan berangkat jama’ah shalat Subuh, ketupat, ditambah lepet dan alu-alu dibawa ke masjid desa.

Setelah jama’ah sholat Subuh, warga akan melaksanakan tahlilan kemudian makan ketupat bersama atau membawanya pulang.  Tak sampai di situ, di hari yang sama masyarakat di sana juga akan melakukan hal yang sama di waktu Maghrib. “Ada yang bawa untuk shubuhan, ada juga yang Maghrib terserah,” terangnya.

Ia menurutkan, setiap keluarga minimal mengirimkan ketupat ke masjid 10 biji atau lebih. Menurutnya, tradisi ini mengajarkan akan keindahan berbagi, merawat kerukunan, persaudaraan dan silaturahmi antarwarga. “Ya guyub rukun warga sini, saling berbagi. Kalau mungkin belum sempat bermaaf-maafan, kesempatan ini juga menjadi halal bihalal antar warga,” pungkasnya. (Red)